Koalisi Gemuk Bukan Jaminan Untuk Menang Pilkada, Pakar: Tergantung Mesin Partai Masing-Masing

Koalisi Gemuk Bukan Jaminan Untuk Menang Pilkada, Pakar: Tergantung Mesin Partai Masing-Masing
Bakal Calon Gubernur Kaltim Isran Noor dan Rudy Mas'ud (Dok. Istimewa)

KALTIM, Panrita Post - Tahapan pendaftaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 yang kian dekat, membuat peta koalisi partai politik (parpol) semakin mengerucut. 

Sejumlah bakal calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernurnya (cawagub) bahkan sudah memboyong dukungan gemuk dari berbagai parpol.

Di Kalimantan Timur misalnya, Pasangan Rudy Mas'ud-Seno Aji berhasil mengamankan dukungan dari 44 kursi dari total 55 kursi di DPRD Kaltim yang berasal dari tujuh partai politik.Tujuh partai tersebut diantaranya adalah Partai Golkar, Partai Gerindra, PAN, PKS, PKB, NasDem, dan PPP.

Sementara itu, dua partai politik belum menentukan dukungan dan masih berpeluang mengusung pasangan Isran-Hadi yakni, PDIP dan Partai Demokrat dengan total kepemilikian 11 kursi. 

Beberapa pakar dan analisis ilmu politik menilai koalisi gemuk bukan jaminan untuk dapat memenangkan pertarungan pada pilkada. 

Salahsatunya Musfi Romdoni, Analis Sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Ia menilai dukungan koalisi gemuk tersebut sejatinya tidak menjamin kemenangan di pilkada.

Pasalnya, langkah partai politik mengusung bakal calon, tidak sepenuhnya diikuti pula dengan dukungan pemilihnya. Karena, pemilih akan sangat bergantung dengan kandidat siapa yang akan dijagokan.

Musfi mencontohkan di banyak kasus pilkada, didukung banyak partai bukan jaminan kemenangan. Di Pemilihan Wali Kota Makassar 2018 misalnya, semula diikuti dua paslon, yakni Mohammad Ramdhan Pomanto-Indira Mulyasari dan Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika.

Pasangan Danny Pomanto-Indira diketahui maju dari jalur independen. Sementara itu, pasangan Munafri-Andi diusung koalisi gemuk yang diisi Partai Nasdem, Golkar, PAN, Hanura, PPP, PDIP, Gerindra, PKS, PKPI, dan PBB.

Belakangan, KPU Makassar justru mencoret Danny Pomanto-Indira lantaran tersandung kasus hukum. Namun, jumlah suara yang diraih paslon Munafri-Andi toh tak bisa menandingi perolehan kotak kosong.

Meski hanya satu contoh, peristiwa itu menjadi preseden bahwa memilih kotak kosong pun adalah pilihan yang relevan.

"Jadi didukung banyak partai bukan jaminan kemenangan," ungkapnya. 

Di sisi lain, Analis politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, juga mengatakan bahwa dukungan banyak partai memang tidak selalu menjamin kemenangan dalam pilkada, kecuali jika seluruh partai diambil untuk mendukung satu paslon tertentu dan membuka kemungkinan untuk melawan kotak kosong.

"Karena kan tidak ada kampanye untuk kotak kosong kan. Sehingga kalau itu terjadi kemungkinan atau probabilitasnya tentu akan jauh lebih besar kemenangannya," jelas Kunto, Selasa (06/08/2024).

Kalau kemungkinan yang terjadi adalah tidak ada lawannya atau kotak kosong, jelas menurut Kunto, lebih gampang merebut suara dari pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters) dan pemilih yang berpotensi berayun atau beralih suara (swing voters). Sementara yang memilih kotak kosong adalah mereka yang kritis.

"Tetapi di lain sisi juga akan memperkecil partisipasi pemilih di kotak suara karena orang pikirnya sudah pasti menang, ngapain ikut pilih kan begitu. Jadi ada risiko-risiko itu," tambahnya. 

Kendati begitu, lanjut Kunto, kemenangan pilkada ini akan sangat bergantung kepada mesin partai masing-masing.

Sebab, percuma juga kata Kunto, jika koalisi besar tapi mesin politik tidak jalan. Artinya sama saja bohong dan itu sering terjadi di pilkada.

Editor : Rahmat Amran