Honorer, Antara Pengabdian dan Ketidakjelasan Nasib

Oleh : Rahmat Amran
Opini, Panrita Post - Mereka bukan sekadar pekerja. Mereka adalah roh yang menghidupkan birokrasi, tangan-tangan yang tak terlihat tetapi menopang sistem pemerintahan dari dalam. Namun, di balik dedikasi itu, mereka terperangkap dalam status yang samar, berada di antara pengabdian yang tulus dan ketidakjelasan masa depan yang mengintai.
Honorer. Sebuah kata yang seharusnya menggambarkan kepercayaan dan pengabdian, tetapi justru sering menjadi simbol keterbatasan dan ketidakpastian. Mereka yang bekerja di sekolah-sekolah, rumah sakit, kantor pemerintahan menjalankan tugas dengan tanggung jawab besar, tetapi dengan penghargaan yang jauh dari layak. Gaji mereka kecil, hak mereka terbatas, dan yang lebih menyakitkan, mereka kerap dianggap tidak lebih dari sekadar pengisi kekosongan sementara.
Kita harus jujur. Selama bertahun-tahun, sistem tenaga honorer diwarnai ketimpangan. Ada yang masuk karena kompetensi, tetapi ada pula yang hanya beruntung karena titipan. Ada yang bekerja tanpa kenal lelah, tetapi ada pula yang hadir tanpa beban. Sistem yang seharusnya menjadi solusi justru menciptakan jurang ketidakadilan yang semakin lebar.
Namun, di balik semua itu, satu hal yang tak dapat disangkal: mereka adalah bagian yang tak terpisahkan dari pelayanan publik. Mereka adalah guru yang tetap mengajar meski gaji tak seberapa. Mereka adalah tenaga kesehatan yang merawat pasien meski masa depan mereka menggantung. Mereka adalah pegawai administrasi yang mengerjakan tugas-tugas teknis tanpa jaminan kejelasan status.
Dan kini, pemerintah berencana menghapus tenaga honorer atas nama efisiensi. Apakah ini keadilan? Apakah solusi terbaik harus selalu mengorbankan mereka yang telah lama berjuang dalam keterbatasan? Jika penghapusan ini dilakukan tanpa kebijakan transisi yang adil, maka yang terjadi bukanlah reformasi birokrasi, melainkan pemangkasan paksa yang akan menambah jumlah pengangguran dan merusak tatanan pelayanan publik yang sudah ada.
Solusi harus lebih manusiawi. Mereka yang telah lama mengabdi pantas mendapatkan jalur prioritas untuk menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Proses seleksi harus transparan, tidak hanya berdasarkan tes semata, tetapi juga mempertimbangkan pengalaman dan dedikasi bertahun-tahun yang telah mereka berikan. Jangan biarkan mereka yang telah bekerja keras justru disingkirkan oleh sistem yang dingin dan tak berpihak.
Reformasi memang perlu, tetapi bukan dengan cara yang menihilkan perjuangan mereka. Evaluasi tenaga honorer harus dilakukan dengan cermat agar hanya mereka yang benar-benar berkontribusi yang mendapatkan tempat. Jangan biarkan mereka yang sekadar "titipan" menggerogoti hak mereka yang telah berjuang dengan keringat dan air mata.
Pada akhirnya, kebijakan bukan hanya tentang angka dan data. Ini tentang manusia. Tentang mereka yang telah memberikan hidupnya untuk pelayanan publik, tetapi kini justru dihadapkan pada ancaman ketidakpastian. Jika pemerintah benar-benar ingin menata birokrasi, maka reformasi harus dilakukan dengan hati, bukan sekadar hitung-hitungan di atas kertas.
Jangan biarkan tenaga honorer hanya menjadi bayangan dalam sistem. Mereka layak mendapatkan kepastian, layak mendapatkan penghargaan, dan yang terpenting, layak mendapatkan keadilan. (red)*