Cinta dalam Peran, Dilema Hati Seorang Lady Companion yang Tak Terucap

OPINI - Saya sering kali terdiam memikirkan cinta seorang Lady Companion (LC), seperti perasaan yang ingin sekali bebas, namun terkunci rapat dalam sebuah kotak. Setiap tatapan, senyuman, dan sentuhan yang mereka bagi dengan tamunya adalah bagian dari peran.
Namun, adakah di dalamnya sesuatu yang lebih? Adakah cinta yang bersembunyi di balik kehangatan yang mereka ciptakan, atau apakah semua itu sekadar tirai yang mereka pasang demi menjalani pekerjaan?
Bagi saya, ini adalah tragedi yang tenang sebuah drama yang berlangsung tanpa panggung, tanpa tepuk tangan, dan tanpa akhir bahagia. Mungkin banyak orang melihat profesi mereka dengan sinis, menganggap mereka sebagai bayang-bayang dari senyum palsu dan kepura-puraan.Tetapi semakin lama saya merenung, saya semakin yakin bahwa di dalam senyum itu ada pertarungan batin yang nyata.
Bagaimana bisa seorang manusia tetap tak tersentuh oleh perasaan setelah sekian lama menjalin keintiman, meski hanya sebagai bagian dari peran? Kita bisa saja menilai dari jauh, tapi saya percaya bahwa mereka, seperti halnya kita, adalah manusia yang rentan terhadap pesona cinta, pada janji keintiman yang sesekali hadir di balik semua basa-basi.
Di dalam hati saya, saya tak bisa mengabaikan bahwa mereka pasti pernah merasakan dorongan untuk lebih dari sekadar tersenyum untuk membiarkan hati mereka jatuh tanpa khawatir terjatuh. Namun, di balik itu semua, mereka selalu dibayangi oleh kenyataan yang mengekang. Ada aturan yang tak tertulis, sebuah batas yang mengingatkan mereka bahwa kedekatan ini hanya sebatas peran, bukan kenyataan.
Menyaksikan ini membuat saya berpikir tentang apa yang dikatakan Jean Paul Sartre tentang cinta, menurutnya cinta sejati hanya bisa ada jika seseorang benar-benar bebas.
Tetapi bagaimana mungkin mereka mencintai dengan kebebasan jika setiap tindakannya adalah cermin dari peran yang harus dijaga? Saya bisa membayangkan bagaimana sulitnya mereka ingin bebas dalam perasaan, tetapi terpaksa menekan semuanya kembali.
Saya sering kali membayangkan, ketika mereka duduk sendirian setelah hari yang panjang, mungkin ada waktu-waktu di mana mereka merenungi setiap kata, setiap momen, dan setiap percakapan yang terjadi. Mungkin, di dalam kesunyian itu, mereka bertanya pada diri sendiri apakah perasaan yang mereka rasakan itu nyata.
Tetapi saya kembali teringat ucapan Albert Camus, bahwa kehidupan adalah absurditas, konfrontasi antara keinginan manusia akan makna dan kenyataan yang tak pernah memberi jawaban.
Dalam absurditas ini, mereka terus bertanya, terus meraba-raba keinginan hatinya, berharap ada satu titik di mana semua kebingungan ini menjadi jelas. Tapi, apakah mereka pernah menemukan jawabannya?
Saya percaya, mereka hidup dalam sebuah paradoks yang menyakitkan semakin mereka mencoba memahami perasaannya, semakin kabur kebenaran itu.
Disisi lain, Nietzsche pernah mengatakan bahwa manusia hidup di antara dua sisi yang berlawanan, antara kendali dan keinginan, antara tatanan dan kebebasan.
Bagi saya, LC selalu hidup di antara dua sisi ini mereka mencoba menjaga jarak, tetapi di dalam hati ada dorongan untuk merasakan sesuatu yang nyata. Bayangkan, seberapa banyak energi yang harus mereka keluarkan untuk menjaga kendali atas hati mereka? Bagaimana rasanya, setiap kali mereka ingin menyerahkan diri pada perasaan, namun harus menarik diri kembali?
Ada saat di mana saya merasa bahwa seorang LC adalah seniman kehidupan yang paling tulus. Mereka memainkan peran tanpa pernah benar-benar memiliki kendali penuh atas panggung mereka sendiri.
Nietzsche menyebutnya "seni berpura-pura" sebuah seni yang mengorbankan perasaan demi menjalani peran. Saya membayangkan, bagi seorang LC, setiap kali mereka berpura-pura, ada bagian dari hati mereka yang semakin terasing.
Tetapi, di sisi lain, saya juga merasa bahwa berpura-pura adalah satu-satunya cara mereka bisa menemukan sedikit kejujuran dalam perasaannya.
Begitu ironis, tetapi itulah yang membuatnya begitu dalam. Dalam setiap senyuman yang mereka bagikan, dalam setiap kata yang terdengar begitu hangat, ada kejujuran yang terbungkus oleh kepura-puraan.
Mungkin di balik peran ini, mereka pernah memiliki mimpi yang sederhana sebuah keinginan untuk dicintai tanpa harus berpura-pura, untuk merasakan keintiman tanpa batasan. Mungkin ada kerinduan yang tak terucap, sebuah harapan yang tak pernah benar-benar pupus.
Saya sering kali berpikir, mungkin mereka juga ingin dicintai dengan cara yang mereka cintai dalam perannya, tetapi untuk sekali saja tanpa topeng, tanpa peran. Saya tidak tahu pasti, tetapi saya merasa ada harapan yang begitu dalam di sana, sebuah harapan yang bahkan mereka sendiri tak berani ungkapkan.
Bagi saya, cinta seorang LC adalah cinta yang tragis, cinta yang mungkin tak pernah dibiarkan berkembang sepenuhnya. Seperti bunga yang terhalang kaca, cinta itu hanya bisa tumbuh hingga titik tertentu, lalu berhenti, terkungkung oleh dinding yang mereka bangun untuk bertahan. Cinta itu ada, tetapi tertahan.
Dan di balik keindahan dan ketegaran mereka, saya bisa merasakan ada sebuah kesedihan yang tak bisa mereka bagi kepada siapa pun, bahkan kepada diri mereka sendiri.
Pada akhirnya, cinta seorang LC adalah puisi yang tak pernah selesai ditulis. Mereka ingin mengekspresikannya, tetapi halaman-halaman itu tetap kosong, tertahan oleh peran yang harus dijalani.
Cinta mereka mungkin tak pernah diucapkan dengan jelas, tetapi terasa begitu kuat di antara batas-batas yang mereka jaga. Dan di dalam ruang hati mereka, cinta itu tetap ada, menunggu untuk dibebaskan, meski mereka tahu bahwa kebebasan itu mungkin tak akan pernah datang.