Lebih dari Separuh Penghuni Lapas Samarinda Terjerat Kasus Narkoba,Overkapasitas Jadi Tantangan Pembinaan di Balik Jeruji
SAMARINDA, Panrita Post – Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Samarinda di Jalan Jenderal Sudirman kini menghadapi kenyataan pahit: lebih dari separuh penghuninya merupakan narapidana kasus narkoba. Dari total 740 warga binaan, tercatat 425 orang atau sekitar 57 persen tersandung kasus penyalahgunaan maupun peredaran narkotika.
Pariadi, petugas Bimbingan Anak Didik (Binadik) Lapas Kelas IIA Samarinda, mengungkapkan bahwa dominasi napi narkoba ini bukan tanpa sebab.
“Lapas Samarinda sejatinya bukan lapas khusus narkotika. Namun karena Lapas Bayur mengalami kelebihan kapasitas, sebagian napi dipindahkan ke sini,” jelasnya, Sabtu (25/10/2025).
Selain napi narkoba, lembaga ini juga menampung 33 napi kasus korupsi, satu kasus perdagangan orang, dua kasus pencurian, serta 281 napi dengan berbagai tindak pidana umum. Rinciannya, sebanyak 644 orang menjalani hukuman lebih dari satu tahun, dua orang dengan masa hukuman di bawah satu tahun, 78 napi dikenai pidana denda atau pengganti uang, dan 16 lainnya menjalani vonis seumur hidup.
Meski menghadapi tekanan akibat jumlah penghuni yang membludak, Pariadi menegaskan pihaknya tetap berupaya menjalankan fungsi utama lembaga pemasyarakatan.
“Kami tidak hanya fokus pada hukuman, tetapi juga pembinaan. Harapannya, ketika mereka bebas, bisa benar-benar berubah dan berkontribusi positif di masyarakat,” ujarnya.
Fenomena kelebihan kapasitas (overcrowding) ini bukan hanya terjadi di Samarinda, tetapi juga di sejumlah lapas lain di Kalimantan Timur. Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kemenkumham Kalimantan Timur, Jumadi, mengakui kondisi ini menjadi tantangan serius.
“Kapasitas ideal Lapas Samarinda hanya sekitar 350 orang. Kini dihuni lebih dari dua kali lipatnya. Ini tentu berdampak pada pelayanan dan pembinaan,” ungkapnya.
Meski demikian, pihaknya tetap berkomitmen menjaga hak-hak dasar warga binaan. Berbagai upaya sedang dilakukan, mulai dari koordinasi dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan hingga program asimilasi berbasis keadilan restoratif bagi napi berperilaku baik.
“Kami ingin memastikan bahwa meski penuh, pembinaan dan nilai kemanusiaan tetap berjalan beriringan,” tegas Jumadi.
Kondisi ini menjadi gambaran nyata beban berat sistem pemasyarakatan di Kalimantan Timur. Di tengah upaya menegakkan hukum, tantangan terbesar justru bagaimana mengembalikan manusia yang tersesat agar mampu menata ulang hidupnya sesuai dengan hakikat sejati pemasyarakatan itu sendiri. (red)
