Christian Nur Slamat Soroti Keberagaman Suku Paser, Beberapa Mulai Terancam Punah

PENAJAM, Panrita Post – Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Penajam Paser Utara (PPU), Christian Nur Slamat, menyoroti kekayaan etnisitas Suku Paser yang tersebar di wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Ia menyebut bahwa Suku Paser memiliki setidaknya 13 sub-suku, namun beberapa di antaranya kini mulai terancam punah.
“Keberagaman sub-suku Paser merupakan kekayaan budaya yang harus dijaga. Sayangnya, beberapa di antaranya mulai kehilangan identitasnya atau populasinya semakin berkurang,” ujar Christian, Selasa (24/6/2025).
Beberapa sub-suku Paser yang masih dikenal antara lain Paser Luangan, Paser Telake, Paser Tikas, Paser Adang, Paser Migi, Paser Pematang, Paser Leburan (atau Paser Pembesi), Paser Peteban (atau Keteban), Paser Pamukan, Paser Bukit Bura Mato, dan Paser Balik.
Christian mengungkapkan bahwa salah satu sub-suku yang kini mulai mengalami perubahan identitas adalah Paser Luangan, yang kini lebih memilih disebut sebagai Dayak Lawangan, karena domisili dan pengaruh budaya mereka di Kalimantan Tengah.
“Kita lihat contohnya Paser Luangan, sekarang lebih banyak mengidentifikasi diri sebagai Dayak Lawangan. Ini bagian dari dinamika budaya, tapi juga bisa menjadi sinyal hilangnya identitas lokal,” jelasnya.
Sementara itu, Paser Leburan atau Paser Ruangan, merupakan salah satu sub-suku yang unik karena mayoritas tidak memeluk agama Islam dan masih mempertahankan tradisi mereka sebagai bagian dari komunitas Dayak Ruangan di Kalimantan Tengah.
Christian juga menyoroti kondisi Suku Paser Balik yang disebutnya sebagai kelompok paling rentan terhadap kepunahan.
“Populasi Paser Balik sekarang sudah di bawah 500 ribu. Ini perlu jadi perhatian karena keberadaan mereka sudah sangat sedikit,” tegasnya.
Ia berharap ke depan akan ada langkah konkret untuk mendokumentasikan, memetakan, dan melestarikan keberadaan sub-suku Paser agar tidak hilang ditelan zaman.
“Kita perlu kerja sama lintas sektor, baik dari pemerintah daerah, pusat, maupun pelaku budaya. Ini bukan hanya soal identitas, tapi juga warisan leluhur yang tak ternilai,” pungkasnya. (Adv/Za)